Senin, 03 Juni 2013

MUI: Maknai Cubitan Guru Untuk Kemajuan Pendidikan Anak

Orang Tua Korban Peras Guru Rp 24 Juta


[WAYKANAN] Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Waykanan, Provinsi Lampung, Bunyamin Sidik mengatakan, tindakan guru Sari Asih Sosiawati yang dipidanakan orang tua murid lantaran mencubit siswa seharusnya dimaknai sebagai peringatan demi kemajuan pendidikan anaknya. 

"Rasanya hampir semua murid di zaman dulu mengalami peringatan oleh gurunya, dicubit, dijewer, disebat pakai mistar, dipukul pakai rotan, dilempar pakai kapur dan pengapus dan lain sebagainya," ujar Bunyamin, di Blambangan Umpu, Senin (6/5). 

Oleh sebab itu, demikian Ketua MUI Waykanan menambahkan, orang tua murid seharusnya bisa menyikapi cubitan Asih sebagai peringatan demi kemajuan pendidikan anaknya. 

"Saya sewaktu belajar di pondok pesantren juga pernah mengalami pukulan rotan di telapak tangan kiri dan kanan masing-masing tujuh kali karena tidak hafazd atau hafal mata pelajaran alfiah olah almarhum KH Mustafa. Dan saya memaknainya sebagai peringatan sehingga memacu untuklebih giat belajar," ujarnya lagi. 

Bunyamin yang juga Kepala Badan Keluarga Berencana, Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan itu menegaskan, pelapor perlu mendapat pencerahan moral dan psikologi agama serta psikologi pendidikan. 

Diperas Orang Tua Siswa

Sari Asih Sosiawati, pengajar Bahasa Lampung di SDN Tiuhbalak, Baradatu, pada 29 Agustus 2012 mencubit seorang murid. 

Asih mengatakan, mencubit pada bagian atas perut bawah ketiak sebelah kiri dengan tangan kanannya karena pelajar yang dicubitnya tersebut tidak mengerjakan ulangan serta terhitung sudah dua kali. 

Akibat cubitan itu, PNS golongan III A itu dilaporkan oleh ke Polsek Baradatu oleh orang tua siswa yang dicubitnya. Dan kepada sejumlah jurnalis pula, Asih yang disangkakan terkena Pasal 80 Ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, juga mengatakan jika dimintai pelapor Rp24 juta sebagai uang damai. 

Direktur Pascasarjana Unila Prof Dr Sudjarwo MS dalam kesaksiannya untuk Sari Asih Sosiawati binti Rohmatan, Rabu (1/5), berpendapat cubitan terdakwa dilakukan untuk mendidik dan tidak mengakibatkan cacat seumur hidup. 

"Guru yang membuat murid cacat selamanya itu bukan guru," ujar Sudjarwo, di Pengadilan Negeri Blambangan Umpu, Waykanan. 

Pria kelahiran Lubuklinggau Provinsi Sumatera Selatan, 20 Mei 1953 itu menuturkan, tugas guru terberat mulai dari pendidikan terbawah sehubungan tanggung jawabnya dalam mengasuh murid lebih berat. 

"Semakin tinggi, porsinya semakin sedikit. Di perguruan tinggi, tugas pendidik sekitar 10 persen, 90 persen sisanya menjadi tanggung jawab peserta didik itu sendiri," ujar Sudjarwo lagi. 

Pendidikan, demikian Direktur Pascasarjana Unila itu pula, merupakan proses transformasi pengetahuan. Adapun perbuatan menghukum selama itu masih dalam koridor pendidikan dan membuat murid lebih baik juga diperbolehkan, namun ada koridornya, seperti tidak mengakibatkan cacat seumur hidup. 

"Pendidik itu selalu ingin memberikan yang terbaik, jika punya sembilan, pasti akan dikasihkan sepuluh kepada murid. Beda dengan tukang sulap, punya sembilan dikasih muridnya delapan," ujar akademisi yang mengaku selalu menyuruh mahasiswanya yang nakal membuat resume 10 buku," ujar dia pula. 

Sidang Asih tercatat telah yang keempat, dipimpin Ketua Majelis Hakim Dodong Iman R. Selain menghadirkan Sudjarwo sebagai saksi ahli, sidang juga menghadirkan dr Nayla Firzaniati, yang melakukan visum terhadap anak Erwansyah. 

"Visum pada korban dilakukan 30 Agustus 2012. Ia datang dalam keadaan sadar, berjalan kaki, tidak dalam keadaan pingsan, dan terlihat tidak menahan rasa sakit," ujar Nayla menjawab pertanyaan hakim. 

Hakim lalu mempertanyakan murid dicubit Asih, datang dengan rasa takut atau tidak. "Pasien datang ke dokter dengan raut wajah takut itu biasa," jawab Nayla lagi. 

Ia kemudian menambahkan, tidak ada follow up lagi pasca dilakukan visum terhadap murid Asih itu. "Ada luka memar memang, namun tidak robek, saya perkirakan terkena benda tumpul. Tetapi tidak bahaya dan juga tidak akan mengakibatkan cacat," katanya lagi. 

Atas kesaksian Nayla, Asih didampingi penasihat hukumnya, Maslia Maharani dan Ali Rahman mengatakan tidak keberatan. 

Sejumlah pihak menyayangkan kasus itu berlanjut ke ranah hukum karena bisa diselesaikan secara musyawarah. 

"Peristiwa itu sungguh memalukan. Hal wajar seorang guru mencubit muridnya sepanjang itu bertujuan mendidik anak murid ke arah yang positif, dan juga asal jangan sampai menderita luka yang serius," ujar Ketua Parisada Hindu Darma Kecamatan Pesisir Selatan Daerah Otonom Baru (DOB) Kabupaten Pesisir Barat, Ketut Satriye. [Ant/l-8]
http://www.suarapembaruan.com/home/mui-maknai-cubitan-guru-untuk-kemajuan-pendidikan-anak/35047

Tidak ada komentar:

Posting Komentar